Selamat Datang di Blog Korps Sukarela Palang Merah Indonesia Unit Institut Koperasi Indonesia (KSR PMI Unit IKOPIN)

Jumat, 19 November 2010

"Menyelamatkan Sesama Seperti Candu" [Review]


Dijerumuskan bencana tsunami Aceh 2004, ia jadi kecanduan jadi relawan. Ini kesaksiannya.
JUM'AT, 12 NOVEMBER 2010, 18:38 WIB
Pipiet Tri Noorastuti

VIVAnews – Sosok Iman Surahman hampir selalu terlihat di setiap medan bencana di Tanah Air. Bermula dari bencana tsunami di Aceh, gempa bumi di Sumatra Barat, hingga letusan Gunung Merapi. Sebagai Koordinator Disaster Management Center Dompet Dhuafa, Iman harus tiba di lokasi tak lebih dari 20 jam sejak kabar muncul.
“Ini kadang tak mudah. Lokasi sulit dijangkau, bandara ditutup, tiket pesawat habis. Tapi, selama keringat belum keluar darah, saya selalu yakin masih ada jalan,” katanya.
Dan, kurang dari 12 jam sesampainya di lokasi bencana, ia harus langsung memetakan kondisi. Mulai dari menentukan titik aksi, merekrut, hingga menentukan tugas relawan. 
Buat wartawan portal berita ini, lelaki kelahiran Kuningan, Jawa Barat, 34 tahun lalu itu, punya jasa tak terlupakan. Dialah relawan yang pertama kali menemukan jasad rekan kami, Yuniawan "Wawan" Nugroho, yang tewas pada letusan pertama Merapi, 26 Oktober lalu.
Berikut petikan wawancara VIVAnews dengan suami Eri Setyowati dan ayah dari tiga anak ini.
Bagaimana awal kisah Anda terjun sebagai relawan bencana? 
Saya "terjerumus" sejak bencana tsunami di Aceh, 2004. Kebetulan waktu itu Dompet Dhuafa sedang membuka pendaftaraan relawan untuk program Sekolah Ceria. Saya diminta menjadi melatih relawan guru. Saya memang punya sekolah TK dan sanggar mendongeng di rumah. Di Aceh, saya berpetualang dari satu pengungsian ke pengungsian lain untuk mendongeng dan melakukan pendampingan anak.
Pengalaman menjadi relawan di Aceh membuat saya semakin tertantang untuk terlibat di setiap bencana. Seperti candu melihat anak menangis lalu  tersenyum. Saya beruntung sekali bisa terlibat saat tsunami Aceh. Saya bisa belajar di "fakultas" terbesar ranah bencana.
Pernah menjadi relawan di wilayah bencana mana saja? 
Di antaranya gempa Yogyakarya 2006; lumpur Sidoarjo 2006; gempa Sumatera Barat 2007 dan 2009; banjir So’e NTT 2008; kelaparan Pulau Tunda, Serang, Banten 2008; gempa Tasikmalaya 2009; banjir Pakistan 2010; dan letusan Merapi ini.
Yang paling menegangkan?
Pertama, di Dusun Penyangkak, Bengkulu Utara. Ketika itu warga menodong kepala saya dengan parang. Dusun itu terisolir. Sudah tiga hari bantuan pemerintah belum masuk. Hanya tim saya yang ada di sana dengan bantuan logistik sangat minim. Mereka marah karena bantuan saya tak banyak. Beruntung, dengan pendekatan hati mereka akhirnya paham bahwa saya bukan dewa.
Peristiwa itu justru membuat saya dan warga semakin erat dan memiliki ikatan emosional. Kasus itu juga mengajarkan saya untuk mengedepankan hati dulu sebelum logistik, agar posisi kita tak seperti gula di kandang semut.
Kedua, ketika saya dimintai tolong kawan-kawan VIVAnews.com untuk menemukan jurnalisnya yang hilang di Merapi, Yuniawan Wahyu Nugroho. Kepercayaan itu mengalahkan ketakutan saya. Saat masuk ke Kinahrejo malam itu situasinya sungguh mencekam. Api menyala di mana-mana. Saya temukan jasad Wawan di sana. Melihat kondisi dusun itu esok paginya, saya mungkin berpikir 30 kali memasuki lokasi itu.
Mana lokasi yang paling berkesan buat Anda? 
Hampir semua lokasi bencana memberi kesan khusus buat saya. Tapi, ada dua daerah yang seolah menjadi kampung halaman baru buat saya: Dusun Penyangkak, Bengkulu Utara; dan Sliwung, Situbondo. Ada semacam ikatan emosional kuat yang membuat hubungan saya dan warga setempat bertahan sampai sekarang.
Apa sasaran utama Anda di lokasi bencana?
Tentu penyelamatan nyawa sesama. Selanjutnya adalah penyembuhan trauma pascabencana. Saya selalu menggunakan anak-anak sebagai lokomotif, untuk memulihkan trauma. Anak-anak sifatnya netral. Saya ajak anak-anak untuk menyemangati orangtuanya agar berhenti menangis.
Bagaimana cara mendekati anak-anak? 
Saya biasa datang ke lokasi anak-anak berkumpul. Kalau perlu saya tidur bersama mereka di tenda pengungsian. Saya duduk di tengah-tengah mereka, lalu mendongeng dan menyemangati mereka. Buat saya, dongeng adalah jembatan imajinasi anak-anak yang pengaruhnya luar biasa. Ketika kita bisa mengarahkannya, itu menjadi kesempatan yang bagus untuk mengembalikan keceriaan mereka dan keluarganya.
Apa sebetulnya latar belakang pendidikan Anda?
Saya mendalami pertunjukan teater di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Setelah lulus saya mendirikan taman kanak-kanak dan sanggar dongeng. Untuk menutup biaya operasionalnya, awalnya saya nyambi jualan kerupuk dan nasi aking makanan bebek.
Keluarga apa tidak berkeberatan? 
Keluarga sangat mendukung. Setiap kali bencana, saya bisa sampai tiga bulan ndakpulang. Awalnya, anak saya sempat marah ketika saya ndak pulang-pulang. Suatu ketika, dia saya minta bicara melalui telepon dengan anak korban bencana yang tengah saya tangani. Setelah itu, saya beri pengertian bahwa masih banyak anak-anak yatim piatu yang membutuhkan ayahnya. Sejak itu, dia tidak pernah protes lagi. Setiap kali ada bencana dia malah menyemangati saya agar cepat pergi.
Istri saya juga mendukung dan selalu bilang ingin bisa berbuat baik untuk korban bencana. Makanya, sekalian saya oleh-olehi dia anak-anak korban bencana setiap kali pulang. Di rumah (Iman tinggal di kawasan Jatiasih, Jakarta), sudah ada delapan anak yatim yang kami asuh. Mayoritas saya ambil dari kawasan bencana. Mereka umumnya sudah tak memiliki orangtua dan usia setingkat anak SMP ke atas. Saya berpikir, kalau anak usia SD masih mungkin mendapat fasilitas sekolah gratis.
Apa yang membuat Anda melakukan ini semua? 
Saya percaya dengan konsep memberi satu dapat 10. Saya hanya ingin "berbisnis" dengan Tuhan. (kd)
• VIVAnews

Bekal Terakhir dari Ibu [Review]

Mereka meninggal dalam tugas. Direlakan keluarga menjemput maut di daerah bencana.
JUM'AT, 12 NOVEMBER 2010, 18:31 WIB
Maryadie, Sandy Adam Mahaputra

VIVAnews--Aris Widyatmoko. Usia 19 tahun. Seharian menolong pengungsi, Kamis petang 4 November 2010 itu, dia terlihat lelah. Ribuan  pengungsi  itu lari dari kampung-kampung di Kinahrejo, Cangkringan. Dihalau wedhus gembelyang dimuntahkan perut Merapi.
Aries memang dari Cangkringan, tapi kampungnya belum disergap awan panas. Pada erupsi pertama, Selasa 26 Oktober 2010 itu, petaka hanya sampai di kilometer 10 dari pucuk Merapi. Di luar radius itu masih aman. Dan Aris, seperti halnya sejumlah anak muda dari dusunnya, ramai-ramai menjadi relawan. Menolong para pengungsi. Mengangkut barang.
Badan letih. Keringat. Dan kotor. Aries lalu pamit mandi pada ibunya, Rahayu. Sang Ibu juga  ikut membantu di pengungsian. Rencananya, sesudah mandi dia meluncur ke Dusun Glagah Mayang. Di situ logistik untuk pengungsi ditumpuk.
Glagah Mayang, dua kilometer dari pengungsian. Ke arah pucuk Merapi.
Dipamiti sang anak, Rahayu yang juga terlihat lelah sontak menyodorkan uang. Dua lembar sepuluh ribu. Uang itu sudah lecek dan kumal.  “Untuk beli rokok dengan teman-temanmu,” kata sang Ibu. Sebelum melaju, Rahayu mengingatkan sang anak agar hati-hati, “ Kalau ada apa-apa cepat turun.”
Aries girang. Ini pertama kalinya, sang Ibu merelakan sangu (uang) membeli rokok. Rahayu memang super ketat. Melarang keras sang anak mengepulkan asap.  Aries lalu meluncur. Motor melaju di keheningan malam. Melewati rerimbunan pohon bambu. Gelap.
Di rumah dia bertemu sang ayah, Sriyono. Sesudah mandi dia pamit. Seperti sang Ibu, ayahnya juga berpesan agar hati-hati. Dan, jangan lupa makan. Dalam kegelapan malam, Aries kembali memacu motor. Melaju ke Glagah Mayang. Sang ayah ke pengungsian.
Beberapa jam kemudian sirene di pengungsian berpekik meraung. Wajah-wajah cemas. Raung Sirene itu sahut menyahut dengan perintah mengungsi dari pengeras suara.
Jumat dini hari 5 November itu, Merapi kembali mengamuk. Awan panas menusuk langit setinggi 8 kilometer. Membuhul, bergulung-gulung seperti susunan kulit domba. Lalu menghempas ke kampung-kampung, dusun dan desa,  dalam radius belasan kilometer.  Sejumlah ahli gempa menghitung bahwa dini hari itu, sekitar 100 juta meter kubik material meluncur dari perut Merapi.
Muntah sebanyak itu, Merapi mencatat rekor terbaru. Terdasyat selama 100 tahun belakangan. Horor juga berlipat kali.  Warga harus menjauh. Radius aman di luar 20 kilometer dari pucuk petaka. Dan posko pengungsian itu dalam radius bahaya. Cuma belasan kilometer dari mulut Merapi.
Dalam suasana mencekam,  Sriyono dan Rahayu membangunkan ibu-ibu tua yang sudah terlelap. Banyak yang bertanya ada apa gerangan. Dalam kegentingan itu, sedetik waktu berarti nyawa. Terlambat bergerak matilah sudah.
Rahayu mengabaikan semua pertanyaan. Terus berpekik agar warga bergegas. "Saya suruh pengungsi naik motor dan truk mencari tempat yang lebih aman," katanya. Jalanan gelap.  Listrik mati. Cuma diterangi lampu motor dan mobil yang berebut melaju.
Sudah separuh perjalanan, barulah Rahayu teringat anaknya, Arief Widyatmoko. Markas logistik yang dijaga sang anak itu jelas masuk radius super bahaya. Sembari menghela pengungsi, berkali-kali dia menelpon. Tak bersahut. Nada masuk pun tidak. Rahayu cemas alang kepalang.
Sang ayah berusaha balik arah. Tapi itu seperti memacu motor menuju “kematian”. Baru puluhan meter melaju, suara gemuruh terdengar kencang. Cuma beberapa depa di depan Sriyono, api melahap pohon-pohon bambu. Sriyono balik kanan. Menjauh dari kenggerian itu.  Kepanikan merasuki puluhan ribu orang.  Awan panas sudah mengalir di Sungai Gendol, yang tak berapa jauh dari pengungsian.
Kengerian dan haru biru itu ditonton berjuta mata dari seluruh negeri. Sejumlah stasiun televisi yang menggelar siaran langsung, memperlihatkan betapa kematian tidak saja dekat , tapi juga mengejar. Orang-orang tiba di Yogyakarta dengan debu tebal menempel baju, jaket, hidung, dan kepala. Juga menutup mobil, menutup lampu, yang membuat jalanan gelap gulita.
Bergegas dalam kegelapan itulah yang menyebabkan satu keluarga tewas. Mereka salah arah. Mestinya ke Yogyakarta, malah menghampiri Merapi. Menghampiri kematian.  
Rahayu yang membantu para pengungsi menuju Yogyakarta, terus menelepon sang anak. Tapi sama sekali tak bersahut. Di lokasi pengungsian yang baru, dia akhirnya tahu bahwa Glagah Mayang sudah tertimbun awan panas. Rahayu meraung menangis. Bersama suaminya, dia bergegas ke sejumlah lokasi pengungsian lain. Berharap sang anak masih hidup. Berkali-kali pula mendatangi Rumah Sakit Sardjito, tempat korban tewas dan luka dirawat.
Empat hari ke sana-ke mari hasilnya sia-sia belaka.
Dan berita duka itu datang Senin pagi, 8 November 2010. Tim SAR menemukan Aries dalam kondisi terpanggang. Jenazah diangkut ke Sardjito. Rayahu histeris melihat kantong mayat itu.”Maafkan Ibu nak,”dia berseru berkali-kali,  sembari berlutut memandang kantong itu.
Adalah Rahayu yang mewariskan darah relawan kepada Aries. Ibu berusia 50 tahun ini sudah lama bergabung dalam Taruna Siaga Bencana (Tagana). Rahayu memang sempat ragu ketika sang anak bergabung dalam Tagana. Belakangan dia bangga sebab Aries terlihat tekun. Senang. Iklhas menolong pengungsi.


Saat erupsi pertama, 26 Oktober 2010, Aris membantu ibunya mengevakuasi warga di sekitar Merapi. Juga ikut mengumpulkan obat dan makanan. “Padahal anak itu suka susah dikasih tau orang tua,”kenang Rahayu kepada VIVANews.com.



Lelucon terakhir Supriyadi

Kamis pagi 4 November 2010. Posko logistik Dusun Glagah Malang, jadi riuh. Dan itu karena Supriyadi.  Entah kenapa, pemuda 29 tahun itu memakai pakaian perempuan. Lalu berlenggak-lenggok menuju dapur umum.
Orang-orang tertawa terbahak-bahak melihat aksi kocak ini. Supriyadi adalah lelaki tulen luar dalam. Tapi di posko itu dia membaktikan diri di dapur. Memasak nasi, sayur dan lauk pauk. Di garis depan itu, wanita memang jarang. Kepada teman-temannya, Supriyadi bergurau bahwa busana wanita, juga aksi lenggak-lenggok itu dilakukan agar masakannya bisa maknyus seperti olahan kaum hawa.
“Ternyata itu lelucon terakhir,” kata Hadi B, rekan Supriyadi yang ditemui VIVANews.com di Rumah Sakit Sardjito.  Saat Merapi menebar abu kematian Jumat dini hari itu, Supriyadi dan sejumlah kawannya terjebak dalam barak. Tak sempat menyelamatkan diri . Sebab awan panas menyapu cepat.
Supriyadi lahir di Kulonprogo, Yogyakarta. Dia sudah bergabung dengan Tagana semenjak tahun 2004. Orangtuanya, Samudji dan Tumirah, merantau ke Riau. Bekerja sebagai petani kelapa sawit. Dari hasil sawit itulah mereka menyekolahkan sang anak hingga perguruan tinggi.
Ketika Merapi meletus, Supriyadi sedang menyusun skripsi. Dia kuliah di Sekolah Tinggi Pertanian (Stiper) di Yogyakarta. Jika maut tidak menjemput, tak lama lagi dia wisuda. Lewat seorang paman bernama, Slamet, kematian itu dikabarkan ke Riau.


Tanggal 9 November Samudji tiba di Yogyakarta. Langsung menuju kamar forensik. Demi melihat jenazah itu, Samudji bercucur air mata. Dia memastikan, jenazah dalam kantong itu adalah anaknya.”Dari ciri-cirinya itu benar putra saya. Mau bagaimana lagi. Saya rela,”ujar sang ayah sembari mengusap air mata. Kandas sudah harapan Samudji. Harapan agar si sulung itu menjadi sarjana.  



Berakhir di kampung sendiri

Jupri sudah mengungsikan keluarganya sesudah erupsi pertama, 26 Oktober 2010. Lama menjadi relawan, naluri waspadanya selalu menyala. Semua keluarga diungsi ke Barak Balai Desa Banjarsari, Cangkringan, Sleman. "Jangan tinggal di rumah dulu, tinggal di pengungsian. Biar gampang jika sewaktu-waktu Merapi meletus lagi," begitu pesan Jupri kepada adiknya yang bernama Dwi Prasetyo.
Kamis sore, 4 November 2010 itu tidak ada tanda-tanda Merapi mengamuk lagi. Jupri pamit pada keluarga. Dia hendak berangkat ke posko logistik, yang jauhnya 2 kilometer dari pengungsian. Ke arah Merapi. "Saya titip keluarga. Ingat kamu harus berjaga. Kalau ada apa-apa cepat lari ke bawah," kata Jupri kepada Dwi. Dia lalu menyapa satu persatu. Rini, sang istri, anak dan kedua orang tuanya.
Jupriyanto, begitu nama lengkapnya, sudah semenjak tahun 2004 masuk Tagana. Berbakti menjadi relawan. Lelaki 35 tahun itu sudah melalangbuana dari satu petaka-ke petaka yang lain.
Dia pernah berkubang mencari korban ketika tsunami menghempas Panggandaran beberapa tahun lampu, jumpalitan menyelamatkan orang dalam gempa Bantul dan mencari jenazah pada sejumlah wilayah yang dihempas banjir. “Menyelamatkan nyawa orang wajib hukumnya. Tanpa peduli apapun agama dan suku. Itu yang selalu kakak saya katakan ketika keluarga cemas atas profesinya itu," ujar Dwi.
Meski sering merelakan sang suami ke daerah bencana, sore itu  Rini  ragu melepas sang suami. Apalagi posko itu dekat ke Merapi. "Kamu hati-hari mas, aku dan Fauzi (anaknya) serta bapak dan ibu khawatir," kata Dwi mengulang pesan Rini.
Jupri cuma tersenyum. Dia berusaha menenangkan sang istri. “Aku pasti kembali," katanya. Sebelum menyalakan motor dia mencium kening sang istri. Kening anaknya. Mencium tangan kedua orangtuanya, sang ayah Trantowiyonom yang berusia 60 tahun dan Lanjariah, 55 tahun.
Jumat dini hari itu, suasana di pengungsian panik alang kepalang. Suara sirine dan perintah mengungsi bergema. Keluarga Jupri panik. "Saya disuruh bapak jemput Jupri tapi suasana sudah mencekam. Desa sudah terbakar,” kisah Dwi kepada VIVANews sambil meneteskan air mata.
Dalam suasana haru-biru menyelamatkan diri, Dwi mencoba menghubungi sang kakak. Gagal.  Telepon seluler Jupri sudah tak hidup. Setelah tiba di posko pengungsian yang baru, keluarga terus mencari Jupri. Bertanya kepada Tim SAR, teman-temannya di Tagana, dan berkali-kali datang ke Sardjito. Nihil. Mereka berharap Jupri selamat.
Tapi pagi Senin, 8 November 2010, kabar duka itu datang dari Tim SAR. Mayat Jupri ditemukan terpanggang di barak logistik Glagah Malang, Cangkringan. "Saya, ibu dan keluarga ikhlas. Ini suratan Tuhan,” tutup Dwi. Setelah bertaruh nyawa dari satu petaka ke petaka yang lain, Jupri berakhir di kampung halamannya. (wm)

• VIVAnews

Mereka Pahlawan Bencana [Review]



Dari bencana ke bencana, para relawan itu bekerja menyelamatkan sesama.
JUM'AT, 12 NOVEMBER 2010, 18:18 WIB
Pipiet Tri Noorastuti, Sandy Adam Mahaputra
seorang kawan mengabarkan terjadi erupsi di Gunung Merapi, Selasa, 26 Oktober 2010. Tanpa pikir panjang, ia segera memacu kendaraannya dari kota Yogyakarta menuju Dusun Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman.
Di tengah sayup-sayup raungan sirine tanda bahaya, niatnya terhenti di barak pengungsian Umbulharjo, sekitar lima kilometer menjelang Kinahrejo. Kepanikan melanda. Sejumlah warga menangis histeris kehilangan kontak dengan sanak keluarga.
“Yang ada di pikiran hanya bagaimana menemukan orang-orang hilang itu dalam kondisi selamat,” kata anggota tim SAR itu, saat berbincang dengan VIVAnews.
Keputusan nekat diambil. Sekitar pukul 20.00, bersama empat anggota SAR dan tiga warga setempat, Irfan mendekati Kinahrejo. Mereka menantang maut di tengah muntahan awan panas yang belum tuntas.
Semakin dekat, hawa panas dan ruap belerang menyeruak. Kobaran api pun mulai tampak memecah kegelapan malam. Dan, mimpi buruk itu terjawab di perbatasan dusun.

Sejauh mata memandang, hanya ada tarian api melumat pepohonan, kendaraan, juga bangunan. Bertabur abu pekat, dusun itu hancur. Bangunan terbakar. Pohon bertumbangan. Tubuh-tubuh tak bernyawa bergelimpangan di jalan masuk dusun. Lamat-lamat, rintihan memilukan terdengar.
Hanya berpelindung masker hidung, mereka menerobos ‘neraka’ di hadapan mata. "Suasananya panas sekali, abu pekat. Kami berpijak di potongan-potongan kayu yang berserak. Tanah panas. Sepatu teman saya saja sampai meleleh dan kakinya melepuh," kata Irfan.
Naluri mengantar mereka pada sumber rintihan. Tujuh orang masih bernyawa dengan luka bakar cukup serius. Tandu darurat dari sarung, dan potongan dahan dipakai menggendong mereka. "Kami bonceng dengan sepeda motor sampai ada mobil yang membantu membawanya ke rumah sakit," ujarnya.
Evakuasi tujuh korban hidup selesai. Irfan dan empat anggota SAR lainnya masuk ke area lebih dalam. Berharap menemukan korban hidup. Mereka menyisir keberadaan Mbah Marijan yang ketika erupsi masih salat di masjid. Tapi, nihil.
Di sekitar masjid dan rumah Mbah Marijan, mereka hanya menemukan empat jasad hangus. "Setelah Mas Iman Surahman dari Dompet Dhuafa datang, saya baru tahu kalau salah satunya adalah jasad wartawan VIVAnews Yuniawan Wahyu Nugroho," ujarnya.
Di tengah situasi mencekam, sejumlah relawan segera mengevakuasi jasad-jasad itu ke rumah sakit.

Dilindungi mayat
Seperti bermain petak umpet dengan maut, relawan seperti Irfan harus siap dengan perhitungan risiko mengancam jiwa. Tak jarang mereka tewas di medan bencana. Seperti kisah lima relawan yang meninggal, saat melakukan evakuasi korban di lereng Merapi.[Baca juga Bekal Terakhir dari Ibu]
Meski begitu, bukan ancaman nyawa yang membuat relawan ciut, tapi justru pemandangan menyentuh hati. "Saya paling nggak tega kalau melihat jasad wanita dalam kondisi memeluk anak. Tentara saja banyak yang nggak tega mengevakuasi," kata Irfan. "Ini banyak kami temui di Merapi dan gempa Yogya."
Rasa sentimentil itu juga merayap pada Sigit Agung Maryunus. Emosi anggota Palang Merah Indonesia (PMI) ini tak jarang diaduk-aduk saat menyaksikan pemandangan memilukan di hadapan mata. "Saya kuat di alam, saya tegar, tapi saya juga manusia yang bisa menangis," ujar lelaki yang lebih 20 tahun mengabdi sebagai relawan bencana.
Sigit masih menyimpan kenangan saat membantu korban gempa bumi di Yogyakarta, 2006. Kala itu, ia tengah berjuang mengeluarkan korban meninggal dari reruntuhan rumah saat bumi kembali bergoyang.
"Tiang beton rubuh menghantam jasad itu sampai darahnya muncrat ke tubuh saya. Saya terlindung jasad itu. Saya sangat berterima kasih kepada jasad itu karena telah menyelamatkan saya," ujar Sigit menahan isak. “Sudah meninggal tapi masih bisa menyelamatkan nyawa orang lain.”
Bagi Irfan dan Sigit, menjadi relawan bencana bukan aktivitas mudah. Mereka seringkali dihadapkan pada kondisi sulit, mengancam jiwa dan menguras emosi. Tapi, pekerjaan ini seperti sebuah panggilan hidup.
Bagi Irfan dan Sigit misalnya, menjadi relawan bencana adalah panggilan hidup mereka sejak masih belia. Kepekaan terhadap alam dan rasa kemanusiaan Irfan terasah sejak bergabung di organisasi pecinta alam semasa kuliah. Irfan  kerap terlibat pencarian orang hilang di gunung.
Panggilan itu kian akrab. Dia memutuskan bergabung dengan tim SAR enam tahun silam. "Saya sempat dikirim menangani korban di sejumlah area bencana seperti tsunami di Aceh 2004, juga gempa bumi di Yogyakarta 2006," kisah lelaki 29 tahun ini.
Sementara Sigit memberanikan diri bergabung sebagai relawan PMI semasa duduk di bangku SMA, 1990. "Panggilan jiwa saja tidak cukup. Saya pikir, saya juga butuh obat-obatan untuk menolong, makanya saya masuk ke PMI," ujar pria kelahiran 1974 ini.
Sayap-sayap malaikat
Tak semua relawan berada di 'garis depan' seperti Irfan dan Sigit. Banyak relawan yang tersebar, mulai dari pos pengungsian, posko kesehatan, hingga dapur umum. Mereka terjun sesuai keahlian masing-masing, peran mereka tak kalah penting bagi korban bencana.
Seperti Ariyo Faridh, 30 tahun, yang terlibat memulihkan trauma anak-anak korban bencana di sejumlah daerah. Ia terjun ke sejumlah medan bencana seperti Aceh, Bengkulu, Pangandaran, Tasikmalaya, Situ Gintung, dan Merapi. "Saya terlibat melalui terapi dongeng untuk anak-anak," ujarnya.
Setiap kali mendengar bencana besar, Ariyo segera mencari 'kendaraan' seperti lembaga swadaya agar mudah menjangkau korban bencana. Demi panggilan jiwanya, ia tak sungkan membolos kerja, atau cuti untuk menghibur anak-anak korban bencana. "Saya kecanduan cari pahala," ujarnya sambil tertawa.
Jalan sama juga pernah dialami Iman Surahman. Sebelum memegang amanah memimpin Disaster Management Center Dompet Dhuafa, dia keluar masuk area bencana sebagai pendongeng.

"Saya selalu menjadikan anak-anak lokomotif untuk mempercepat pemulihan trauma pascabencana. Saya ajak anak-anak bangkit menyemangati orangtuanya," ucap Iman, yang sudah menjelajah puluhan medan bencana skala kecil hingga besar di dalam negeri maupun mancanegara. 

Ada kenikmatan, dan rasanya  seperti candu, saat mereka berhasil mengubah situasi muram dan penuh tangis, menjadi senyuman. Atau membuat korban tergelak-gelak dengan cerita menghibur. Kondisi inilah membuat tali emosi terjalin antara relawan dan para korban.

“Bahkan, beberapa kali saya bawa anak-anak korban bencana sebagai oleh-oleh untuk istri di rumah. Ketika saya masuk ke lokasi bencana saya ingin mengikat hati saya di situ,” ujar lelaki yang kini mengasuh delapan anak angkat di kediamannya di kawasan Bekasi, Jawa Barat. [Baca wawancara Iman Surahman: "Menyelamatkan Sesama Seperti Candu"]

Kedekatan emosional dengan korban bencana juga membuat Ariyo tak kuat menahan haru. Saat itu sepucuk surat hinggap di rumahnya di Jakarta. Surat itu dari bocah korban bencana tsunami Aceh yang masih berusia empat tahun. Isinya cuma satu kalimat: ‘abang kelinci jangan lupa kasih makan wortel’. “Anak itu sepertinya lekat dengan tokoh kelinci, dari dongeng yang saya bawakan dulu,” ujar Ariyo.

Menolong tanpa pamrih, para relawan ini layaknya sayap-sayap para malaikat yang turun di tengah bencana. Mereka tak lelap meski lelah. Mereka bekerja dalam diam, dan ikhlas. Rasanya tak berlebihan kita menyebut mereka sebagai pahlawan.(np)
Laporan Erick Tanjung | Yogyakarta
• VIVAnews