Selamat Datang di Blog Korps Sukarela Palang Merah Indonesia Unit Institut Koperasi Indonesia (KSR PMI Unit IKOPIN)

Senin, 28 November 2016

Penundaan Kepuasan

Belum lama berselang, seorang perempuan berusia tiga puluh tahun yang berprofesi sebagai analis finansial, mengeluh kepada saya selama berbulan-bulan tentang kecenderungannya untuk selalu menunda pekerjaan. Kami telah mempelajari perasaannya terhadap karyawannya dan secara khusus kepada orangtuanya. Kami juga meneliti sikapnya terhadap pekerjaan dan keberhasilan; serta bagaimana hal itu berkaitan dengan perkawinannya, karakter seksualnya, keinginannya untuk bersaing dengan suaminya, dan ketakutannya terhadap persaingan semacam itu. Namun, terlepas dari semua usaha psikoanalitis yang menyeluruh, dia terus saja menunda-nunda pekerjaan seperti biasanya. Akhirnya, suatu hari, dia ditantang untuk melihat pada sesuatu yang nyata.
“Apakah Anda suka kue tar?” Tanya saya.
            Dia menjawab bahwa dia tidak suka.
            “Bagian manakah dari kue tar yang lebih Anda sukai? Kuenya atau lapisan gulanya?”
            “Oh, lapisan gulanya!” Jawab wanita itu dengan antusian.
         “Dan, bagaimana Anda memakan sepotong kue?” Saya bertanya, sambil merasa bahwa saya menjadi psikiater paling tolol yang pernah ada.
            “Saya memakan lapisan gulanya dulu, tentu saja” Jawabnya.
         Dari kebiasaannya memakan kue itu, maka kami terus meneliti kebiasaan kerjanya. Seperti telah diduga, ditemukan bahwa untuk pekerjaan harian apa pun yang diberikan kepadanya, dia akan mendedikasikan satu jam pertamanya untuk mengerjakan separuh pekerjaannya yang lebih menyenangkan dan enam jam selanjutnya untuk mengerjakan sisa pekerjaan yang dianggapnya tidak menyenangkan. Saya mengatakan bahwa apabila dia mendorong dirinya untuk mengerjakan bagian pekerjaan yang tidak dia sukai selama satu jam pertama, maka dia akan bebas menikmati enam jam berikutnya. Saya berkata bahwa saya lebih memilih satu jam rasa sakit yang diikuti dengan enam jam rasa senang, daripada satu jam rasa senang yang diikuti dengan enam jam rasa sakit. Dia setuju, dan, karenanya pada dasarnya dia merupakan orang yang berkeinginan kuat, maka dia pun bertekad untuk tidak lagi menunda-nunda pekerjaan.
Penundaan kepuasan adalah proses pembuatan jadwal rasa sakit dan rasa senang dalam kehidupan dengan cara tertentu. Yaitu, untuk meningkatkan kesenangan dengan cara menghadapi rasa sakit terlebih dulu. Ini adalah satu-satunya cara yang masuk akal untuk hidup.
        Proses pembuatan jadwal ini sebenarnya telah dipelajari oleh sebagian besar anak di awal kehidupannya, terkadang di usia lima tahun. Sebagai contoh, terkadang anak balita saat bermain akan mempersilakan kepada temannya terlebih dahulu untuk mendapat giliran sehingga anak tersebut dapat menikmati gilirannya nanti. Pada usia enam tahun, anak bisa mulai menyantap kue tarnya dulu dan lapisan gulanya belakangan. Di seluruh sekolah dasar, kapasitas awal untuk menunda kepuasan dilatih setiap hari, terutama lewat pemberian pekerjaan rumah. Di usia dua belas tahun, sejumlah anak telah mampu duduk tenang pada suatu acara tanpa disuruh oleh orangtuanya dan menyelesaikan pekerjaan rumah mereka sebelum menonton televisi. Di usia lima belas atau enam belas tahun, perilaku seperti ini dianggap sebagai hal yang normal.
          Bagaimanapun, menjadi jelas bagi para guru mereka bahwa pada usia tersebut banyak remaja yang belum memiliki norma ini. Walaupun banyak yang memiliki kapasitas yang telah berkembang dengan baik untuk menunda kepuasan, sejumlah anak berusia lima belas atau enam belas tahun tampaknya sulit mengembangkan kapasitas ini sama sekali. Malahan, beberapa anak tampak benar-benar tidak memiliki kapasitas ini. Sebagian besar dari mereka adalah siswa yang bermasalah. Terlepas dari intelegensi yang dimiliki, peringkat mereka yang rendah semata-mata terjadi karena tidak adanya usaha dan rasa malas. Mereka membolos dari satu mata pelajaran hanya karena keinginan sesaat. Mereka bergerak cepat mengikuti kata hati, dan itu menjalar ke kehidupan sosial mereka juga.
          Para remaja ini menolak usaha apa pun untuk mencampuri gaya hidup mereka yang bersifat impulsif. Dan, bahkan ketika penolakan ini dapat diatasi dengan kehangatan dan keterbukaan terapis, serta sikap yang tidak menghakimi. Maka sifat impulsif mereka sering menjadi sangat tak terkendali. Hal itu menhalangi partisipasi mereka dalam proses psikoterapi dengan cara apa pun. Mereka tidak memenuhi janji pertemuan. Mereka menhindari semua isu penting dan menyakitkan.
       Mengapa ini terjadi? mengapa banyak orang mengembangkan kapasitas untuk menunda kepuasan dan ada sejumlah orang yang gagal mengembangkan kapasitas ini, bahkan sering kali untuk selamanya? Jawabannya secara ilmiah benar-benar tidak diketahui. Peran faktor genetis tidak jelas. Variabel tidak bisa dikontrol dengan tepat untuk menjadi bukti ilmiah. Akan tetapi, sebagian besar tanda menunjuk - dengan agak pasti - kualitas pengasuhan sebagai faktor penentu.

               Dikutip dari “The Road Less Travelled”   


Penundaan Kepuasan

Belum lama berselang, seorang perempuan berusia tiga puluh tahun yang berprofesi sebagai analis finansial, mengeluh kepada saya selama berbulan-bulan tentang kecenderungannya untuk selalu menunda pekerjaan. Kami telah mempelajari perasaannya terhadap karyawannya dan secara khusus kepada orangtuanya. Kami juga meneliti sikapnya terhadap pekerjaan dan keberhasilan; serta bagaimana hal itu berkaitan dengan perkawinannya, karakter seksualnya, keinginannya untuk bersaing dengan suaminya, dan ketakutannya terhadap persaingan semacam itu. Namun, terlepas dari semua usaha psikoanalitis yang menyeluruh, dia terus saja menunda-nunda pekerjaan seperti biasanya. Akhirnya, suatu hari, dia ditantang untuk melihat pada sesuatu yang nyata.
“Apakah Anda suka kue tar?” Tanya saya.
            Dia menjawab bahwa dia tidak suka.
            “Bagian manakah dari kue tar yang lebih Anda sukai? Kuenya atau lapisan gulanya?”
            “Oh, lapisan gulanya!” Jawab wanita itu dengan antusian.
         “Dan, bagaimana Anda memakan sepotong kue?” Saya bertanya, sambil merasa bahwa saya menjadi psikiater paling tolol yang pernah ada.
            “Saya memakan lapisan gulanya dulu, tentu saja” Jawabnya.
         Dari kebiasaannya memakan kue itu, maka kami terus meneliti kebiasaan kerjanya. Seperti telah diduga, ditemukan bahwa untuk pekerjaan harian apa pun yang diberikan kepadanya, dia akan mendedikasikan satu jam pertamanya untuk mengerjakan separuh pekerjaannya yang lebih menyenangkan dan enam jam selanjutnya untuk mengerjakan sisa pekerjaan yang dianggapnya tidak menyenangkan. Saya mengatakan bahwa apabila dia mendorong dirinya untuk mengerjakan bagian pekerjaan yang tidak dia sukai selama satu jam pertama, maka dia akan bebas menikmati enam jam berikutnya. Saya berkata bahwa saya lebih memilih satu jam rasa sakit yang diikuti dengan enam jam rasa senang, daripada satu jam rasa senang yang diikuti dengan enam jam rasa sakit. Dia setuju, dan, karenanya pada dasarnya dia merupakan orang yang berkeinginan kuat, maka dia pun bertekad untuk tidak lagi menunda-nunda pekerjaan.
Penundaan kepuasan adalah proses pembuatan jadwal rasa sakit dan rasa senang dalam kehidupan dengan cara tertentu. Yaitu, untuk meningkatkan kesenangan dengan cara menghadapi rasa sakit terlebih dulu. Ini adalah satu-satunya cara yang masuk akal untuk hidup.
        Proses pembuatan jadwal ini sebenarnya telah dipelajari oleh sebagian besar anak di awal kehidupannya, terkadang di usia lima tahun. Sebagai contoh, terkadang anak balita saat bermain akan mempersilakan kepada temannya terlebih dahulu untuk mendapat giliran sehingga anak tersebut dapat menikmati gilirannya nanti. Pada usia enam tahun, anak bisa mulai menyantap kue tarnya dulu dan lapisan gulanya belakangan. Di seluruh sekolah dasar, kapasitas awal untuk menunda kepuasan dilatih setiap hari, terutama lewat pemberian pekerjaan rumah. Di usia dua belas tahun, sejumlah anak telah mampu duduk tenang pada suatu acara tanpa disuruh oleh orangtuanya dan menyelesaikan pekerjaan rumah mereka sebelum menonton televisi. Di usia lima belas atau enam belas tahun, perilaku seperti ini dianggap sebagai hal yang normal.
          Bagaimanapun, menjadi jelas bagi para guru mereka bahwa pada usia tersebut banyak remaja yang belum memiliki norma ini. Walaupun banyak yang memiliki kapasitas yang telah berkembang dengan baik untuk menunda kepuasan, sejumlah anak berusia lima belas atau enam belas tahun tampaknya sulit mengembangkan kapasitas ini sama sekali. Malahan, beberapa anak tampak benar-benar tidak memiliki kapasitas ini. Sebagian besar dari mereka adalah siswa yang bermasalah. Terlepas dari intelegensi yang dimiliki, peringkat mereka yang rendah semata-mata terjadi karena tidak adanya usaha dan rasa malas. Mereka membolos dari satu mata pelajaran hanya karena keinginan sesaat. Mereka bergerak cepat mengikuti kata hati, dan itu menjalar ke kehidupan sosial mereka juga.
          Para remaja ini menolak usaha apa pun untuk mencampuri gaya hidup mereka yang bersifat impulsif. Dan, bahkan ketika penolakan ini dapat diatasi dengan kehangatan dan keterbukaan terapis, serta sikap yang tidak menghakimi. Maka sifat impulsif mereka sering menjadi sangat tak terkendali. Hal itu menhalangi partisipasi mereka dalam proses psikoterapi dengan cara apa pun. Mereka tidak memenuhi janji pertemuan. Mereka menhindari semua isu penting dan menyakitkan.
       Mengapa ini terjadi? mengapa banyak orang mengembangkan kapasitas untuk menunda kepuasan dan ada sejumlah orang yang gagal mengembangkan kapasitas ini, bahkan sering kali untuk selamanya? Jawabannya secara ilmiah benar-benar tidak diketahui. Peran faktor genetis tidak jelas. Variabel tidak bisa dikontrol dengan tepat untuk menjadi bukti ilmiah. Akan tetapi, sebagian besar tanda menunjuk - dengan agak pasti - kualitas pengasuhan sebagai faktor penentu.

               Dikutip dari “The Road Less Travelled”   


Rabu, 23 November 2016

Inspirasi dalam tragedi

Ketika melihat dari jauh, kita berpikir bencana adalah tragedi mengerikan. Namun ketika anda berada di dekatnya, banyak hal dalam tragedi ini yang memuat berbagai kejadian yang sungguh indah dan menyentuh.
Ada kisah mengenai bencana kelaparan besar di Afrika. Banyak umat Buddha menjadi relawan untuk membantu meringankan bencana ini. Ketika kembali, mereka menceritakan pengalamannya pada seorang biksu. Biksu itu berkomentar, “pasti di sana kondisinya buruk sekali”, berhubung biksu ini sudah melihat gambar anak-anak yang kelaparan, lalu orang-orang, pria, wanita, dan anak-anak dengan perut membusung dan lalat beterbangan mengelilingi mereka. Pasti mengenaskan sekali di sana.
       “Yah, kami benar-benar di ambang batas” dan gadis relawan ini menceritakan mengenai tugasnya di kamp pengungsi. Kamp ini dikelilingi kawat berduri di luat, dan mereka hanya memiliki makanan, air, dan obat-obatan yang terbatas serta sama sekali tidak cukup untuk setiap orang. Mereka tahu bahwa jika mereka membagi-bagikannya ke semua orang, itu hanya akan mendistribusikan pasokan secara tipis, namun tak akan membantu sama sekali. Mereka menyadari bahwa satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan adalah membatasi jumlah pengungsi yang mereka tolong, dan itulah jumlah maksimum orang yang diizinkan memasuki kamp pengungsi.
Nah, gadis asal Inggris ini diberi tugas untuk pergi ke luar kamp, melintasi kawat berduri setiap pagi membawa sebuah angka yang diberikan oleh orang yang berwenang. Angka itu adalah jumlah orang yang boleh dibawa masuk ke dalam kamp, dengan pengetahuan bahwa orang-orang yang berada di luar sana mungkin akan meninggal dalam waktu 24 jam berikutnya jika tidak mendapat bantuan.
Biksu ini berkata kepada gadis itu, “pasti parah sekali! Anda sesungguhnya memilih siapa yang akan mati dan siapa yang akan hidup. Bagaimana Anda bisa bertahan dan menanggung semua itu?”
Lalu ia mengatakan bahwa itu adalah salah satu pengalaman paling menginspirasi dalam hidupnya. Para pengungsi yang biasanya datang dari malam sebelumnya itu tidak berkata, “Bawa aku masuk.” Mereka tidak berbondong-bondong memaksa masuk di pintu gerbang atau berdesakan. Mereka berkata, “Bawalah perempuan yang itu, ia punya anak yang masih kecil. Jangan masukkan aku.” Itulah yang sungguh menggugah hati! Bagaimana bahkan ketika orang-orang dihadapkan dengan kematian yang pasti, masih bisa begitu tidak mementingkan diri sendiri dan berwelas asih.
Hal ini menunjukkan padanya apa yang bisa dilakukan umat manusia. Para pengungsi ini tidak takut mati, sebab mereka menemukan bahwa kewelasan dan kebaikan jauh lebih penting. Jadi cara mereka menyikapi itu menjadi salah satu hal yang paling menginspirasi dalam hidup relawan itu. Bahkan dalam tragedi seperti itu, ia melihat keindahan dan semangat manusia yang betul-betul mengunggahnya.
Akhir yang menggigit dari kisah itu adalah ketika biksu tadi bertanya, “Jadi, apa yang Anda kerjakan sekarang?” Ia berkata, “Saya kembali bekerja, di kantor pajak.” “Bagaimana rasanya di sana?” tanya si biksu. “Nah, kerja di sana baru benar-benar membuat tertekan!” kata si gadis.
Ia lebih memilih berada di luar sana, bekerja sebagai relawan, ketimbang di kantor pajak, sebab di sana ia melihat keindahan, kewelasan, dan kebaikan yang begitu luar biasa. Namun di kantor pajak yang aman dan nyaman, yang bisa ia lihat hanyalah keluhan dan pertengkaran remeh, kecemburuan sesama pegawai, dan segala hal buruk ini.
Kisah ini mengingatkan saya bahwa ketika ada tragedi, bukan peristiwa itu yang tragis, namun bagaimana orang menyikapinyalah yang membuat hal itu menjadi musibah atau berkah.


               Dikutip dari “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 3”    

Kamis, 10 November 2016

Apel Pagi


                Inter Arma Caritas!
              “Lapor, Apel pagi siap dilaksanakan!” Ucap Joni, sang pemimpin apel pada acara apel pagi tanggal 9 November 2016 pukul 7:30. Apel pagi kali ini bermaksud untuk melihat kesiapan anggota KSR untuk acara DIKLAT calon anggota yang akan diselenggarakan pada tanggal 16-20 November 2016. Apel kali ini juga dilakukan untuk lebih memantapkan kekompakan dalam hal keseragaman dan konsistensi. Karena kita ada di bawah satu lambang, maka kita juga harus terlihat satu dan padu di mata orang lain.
             Komandan KSR PMI unit IKOPIN yaitu Nur Ikhsan Prawiro memberi amanat pada dua hal penting yaitu orientasi KSR IKOPIN dan dimensi kualitas. Pertama, orientasi KSR IKOPIN. KSR IKOPIN sudah menapaki jalan kemanusiaan sedari dulu. KSR IKOPIN pernah merasakan masa kejayaannya ketika KSR IKOPIN terkenal karena Lomba Lintas Medannya. Sekarang KSR IKOPIN sedikit demi sedikit mulai dikenal lagi di lingkungan Sumedang, Bandung hingga se-Jawa Barat. Kita KSR IKOPIN akan kembali merasakan kejayaannya dalam waktu beberapa tahun lagi.
               Yang kedua, adalah dimensi kualitas. Dari beberapa dimensi kualitas, ditekankan dua bagian yaitu keseragaman dan konsistensi. Sesuatu yang berkualitas mempunyai keseragaman dan konsistensi. Organisasi yang berkualitas tentunya memiliki kedua hal ini. Kedua hal ini harus dimasukkan ke dalam setiap pemikiran, perkataan, dan perbuatan yang dilakukan oleh setiap anggota KSR IKOPIN.
                “Lapor, Apel pagi siap dibubarkan!”
                “Bubarkan!”