Senin, 05 Desember 2016
Senin, 28 November 2016
Penundaan Kepuasan
Belum lama
berselang, seorang perempuan berusia tiga puluh tahun yang berprofesi sebagai
analis finansial, mengeluh kepada saya selama berbulan-bulan tentang
kecenderungannya untuk selalu menunda pekerjaan. Kami telah mempelajari perasaannya
terhadap karyawannya dan secara khusus kepada orangtuanya. Kami juga meneliti
sikapnya terhadap pekerjaan dan keberhasilan; serta bagaimana hal itu berkaitan
dengan perkawinannya, karakter seksualnya, keinginannya untuk bersaing dengan
suaminya, dan ketakutannya terhadap persaingan semacam itu. Namun, terlepas
dari semua usaha psikoanalitis yang menyeluruh, dia terus saja menunda-nunda
pekerjaan seperti biasanya. Akhirnya, suatu hari, dia ditantang untuk melihat
pada sesuatu yang nyata.
“Apakah Anda
suka kue tar?” Tanya saya.
Dia menjawab bahwa dia
tidak suka.
“Bagian
manakah dari kue tar yang lebih Anda sukai? Kuenya atau lapisan gulanya?”
“Oh,
lapisan gulanya!” Jawab wanita itu dengan antusian.
“Dan,
bagaimana Anda memakan sepotong kue?” Saya bertanya, sambil merasa bahwa saya
menjadi psikiater paling tolol yang pernah ada.
“Saya
memakan lapisan gulanya dulu, tentu saja” Jawabnya.
Dari kebiasaannya
memakan kue itu, maka kami terus meneliti kebiasaan kerjanya. Seperti telah
diduga, ditemukan bahwa untuk pekerjaan harian apa pun yang diberikan
kepadanya, dia akan mendedikasikan satu jam pertamanya untuk mengerjakan
separuh pekerjaannya yang lebih menyenangkan dan enam jam selanjutnya untuk
mengerjakan sisa pekerjaan yang dianggapnya tidak menyenangkan. Saya mengatakan
bahwa apabila dia mendorong dirinya untuk mengerjakan bagian pekerjaan yang
tidak dia sukai selama satu jam pertama, maka dia akan bebas menikmati enam jam
berikutnya. Saya berkata bahwa saya lebih memilih satu jam rasa sakit yang
diikuti dengan enam jam rasa senang, daripada satu jam rasa senang yang diikuti
dengan enam jam rasa sakit. Dia setuju, dan, karenanya pada dasarnya dia
merupakan orang yang berkeinginan kuat, maka dia pun bertekad untuk tidak lagi
menunda-nunda pekerjaan.
Penundaan
kepuasan adalah proses pembuatan jadwal rasa sakit dan rasa senang dalam
kehidupan dengan cara tertentu. Yaitu, untuk meningkatkan kesenangan dengan
cara menghadapi rasa sakit terlebih dulu. Ini adalah satu-satunya cara yang
masuk akal untuk hidup.
Proses
pembuatan jadwal ini sebenarnya telah dipelajari oleh sebagian besar anak di
awal kehidupannya, terkadang di usia lima tahun. Sebagai contoh, terkadang anak
balita saat bermain akan mempersilakan kepada temannya terlebih dahulu untuk
mendapat giliran sehingga anak tersebut dapat menikmati gilirannya nanti. Pada
usia enam tahun, anak bisa mulai menyantap kue tarnya dulu dan lapisan gulanya
belakangan. Di seluruh sekolah dasar, kapasitas awal untuk menunda kepuasan dilatih
setiap hari, terutama lewat pemberian pekerjaan rumah. Di usia dua belas tahun,
sejumlah anak telah mampu duduk tenang pada suatu acara tanpa disuruh oleh
orangtuanya dan menyelesaikan pekerjaan rumah mereka sebelum menonton televisi.
Di usia lima belas atau enam belas tahun, perilaku seperti ini dianggap sebagai
hal yang normal.
Bagaimanapun,
menjadi jelas bagi para guru mereka bahwa pada usia tersebut banyak remaja yang
belum memiliki norma ini. Walaupun banyak yang memiliki kapasitas yang telah
berkembang dengan baik untuk menunda kepuasan, sejumlah anak berusia lima belas
atau enam belas tahun tampaknya sulit mengembangkan kapasitas ini sama sekali.
Malahan, beberapa anak tampak benar-benar tidak memiliki kapasitas ini.
Sebagian besar dari mereka adalah siswa yang bermasalah. Terlepas dari
intelegensi yang dimiliki, peringkat mereka yang rendah semata-mata terjadi
karena tidak adanya usaha dan rasa malas. Mereka membolos dari satu mata
pelajaran hanya karena keinginan sesaat. Mereka bergerak cepat mengikuti kata
hati, dan itu menjalar ke kehidupan sosial mereka juga.
Para
remaja ini menolak usaha apa pun untuk mencampuri gaya hidup mereka yang
bersifat impulsif. Dan, bahkan ketika penolakan ini dapat diatasi dengan
kehangatan dan keterbukaan terapis, serta sikap yang tidak menghakimi. Maka
sifat impulsif mereka sering menjadi sangat tak terkendali. Hal itu menhalangi
partisipasi mereka dalam proses psikoterapi dengan cara apa pun. Mereka tidak
memenuhi janji pertemuan. Mereka menhindari semua isu penting dan menyakitkan.
Mengapa
ini terjadi? mengapa banyak orang mengembangkan kapasitas untuk menunda
kepuasan dan ada sejumlah orang yang gagal mengembangkan kapasitas ini, bahkan
sering kali untuk selamanya? Jawabannya secara ilmiah benar-benar tidak
diketahui. Peran faktor genetis tidak jelas. Variabel tidak bisa dikontrol
dengan tepat untuk menjadi bukti ilmiah. Akan tetapi, sebagian besar tanda
menunjuk - dengan agak pasti - kualitas pengasuhan sebagai faktor penentu.
Dikutip dari “The Road Less Travelled”
Penundaan Kepuasan
Belum lama
berselang, seorang perempuan berusia tiga puluh tahun yang berprofesi sebagai
analis finansial, mengeluh kepada saya selama berbulan-bulan tentang
kecenderungannya untuk selalu menunda pekerjaan. Kami telah mempelajari perasaannya
terhadap karyawannya dan secara khusus kepada orangtuanya. Kami juga meneliti
sikapnya terhadap pekerjaan dan keberhasilan; serta bagaimana hal itu berkaitan
dengan perkawinannya, karakter seksualnya, keinginannya untuk bersaing dengan
suaminya, dan ketakutannya terhadap persaingan semacam itu. Namun, terlepas
dari semua usaha psikoanalitis yang menyeluruh, dia terus saja menunda-nunda
pekerjaan seperti biasanya. Akhirnya, suatu hari, dia ditantang untuk melihat
pada sesuatu yang nyata.
“Apakah Anda
suka kue tar?” Tanya saya.
Dia menjawab bahwa dia
tidak suka.
“Bagian
manakah dari kue tar yang lebih Anda sukai? Kuenya atau lapisan gulanya?”
“Oh,
lapisan gulanya!” Jawab wanita itu dengan antusian.
“Dan,
bagaimana Anda memakan sepotong kue?” Saya bertanya, sambil merasa bahwa saya
menjadi psikiater paling tolol yang pernah ada.
“Saya
memakan lapisan gulanya dulu, tentu saja” Jawabnya.
Dari kebiasaannya
memakan kue itu, maka kami terus meneliti kebiasaan kerjanya. Seperti telah
diduga, ditemukan bahwa untuk pekerjaan harian apa pun yang diberikan
kepadanya, dia akan mendedikasikan satu jam pertamanya untuk mengerjakan
separuh pekerjaannya yang lebih menyenangkan dan enam jam selanjutnya untuk
mengerjakan sisa pekerjaan yang dianggapnya tidak menyenangkan. Saya mengatakan
bahwa apabila dia mendorong dirinya untuk mengerjakan bagian pekerjaan yang
tidak dia sukai selama satu jam pertama, maka dia akan bebas menikmati enam jam
berikutnya. Saya berkata bahwa saya lebih memilih satu jam rasa sakit yang
diikuti dengan enam jam rasa senang, daripada satu jam rasa senang yang diikuti
dengan enam jam rasa sakit. Dia setuju, dan, karenanya pada dasarnya dia
merupakan orang yang berkeinginan kuat, maka dia pun bertekad untuk tidak lagi
menunda-nunda pekerjaan.
Penundaan
kepuasan adalah proses pembuatan jadwal rasa sakit dan rasa senang dalam
kehidupan dengan cara tertentu. Yaitu, untuk meningkatkan kesenangan dengan
cara menghadapi rasa sakit terlebih dulu. Ini adalah satu-satunya cara yang
masuk akal untuk hidup.
Proses
pembuatan jadwal ini sebenarnya telah dipelajari oleh sebagian besar anak di
awal kehidupannya, terkadang di usia lima tahun. Sebagai contoh, terkadang anak
balita saat bermain akan mempersilakan kepada temannya terlebih dahulu untuk
mendapat giliran sehingga anak tersebut dapat menikmati gilirannya nanti. Pada
usia enam tahun, anak bisa mulai menyantap kue tarnya dulu dan lapisan gulanya
belakangan. Di seluruh sekolah dasar, kapasitas awal untuk menunda kepuasan dilatih
setiap hari, terutama lewat pemberian pekerjaan rumah. Di usia dua belas tahun,
sejumlah anak telah mampu duduk tenang pada suatu acara tanpa disuruh oleh
orangtuanya dan menyelesaikan pekerjaan rumah mereka sebelum menonton televisi.
Di usia lima belas atau enam belas tahun, perilaku seperti ini dianggap sebagai
hal yang normal.
Bagaimanapun,
menjadi jelas bagi para guru mereka bahwa pada usia tersebut banyak remaja yang
belum memiliki norma ini. Walaupun banyak yang memiliki kapasitas yang telah
berkembang dengan baik untuk menunda kepuasan, sejumlah anak berusia lima belas
atau enam belas tahun tampaknya sulit mengembangkan kapasitas ini sama sekali.
Malahan, beberapa anak tampak benar-benar tidak memiliki kapasitas ini.
Sebagian besar dari mereka adalah siswa yang bermasalah. Terlepas dari
intelegensi yang dimiliki, peringkat mereka yang rendah semata-mata terjadi
karena tidak adanya usaha dan rasa malas. Mereka membolos dari satu mata
pelajaran hanya karena keinginan sesaat. Mereka bergerak cepat mengikuti kata
hati, dan itu menjalar ke kehidupan sosial mereka juga.
Para
remaja ini menolak usaha apa pun untuk mencampuri gaya hidup mereka yang
bersifat impulsif. Dan, bahkan ketika penolakan ini dapat diatasi dengan
kehangatan dan keterbukaan terapis, serta sikap yang tidak menghakimi. Maka
sifat impulsif mereka sering menjadi sangat tak terkendali. Hal itu menhalangi
partisipasi mereka dalam proses psikoterapi dengan cara apa pun. Mereka tidak
memenuhi janji pertemuan. Mereka menhindari semua isu penting dan menyakitkan.
Mengapa
ini terjadi? mengapa banyak orang mengembangkan kapasitas untuk menunda
kepuasan dan ada sejumlah orang yang gagal mengembangkan kapasitas ini, bahkan
sering kali untuk selamanya? Jawabannya secara ilmiah benar-benar tidak
diketahui. Peran faktor genetis tidak jelas. Variabel tidak bisa dikontrol
dengan tepat untuk menjadi bukti ilmiah. Akan tetapi, sebagian besar tanda
menunjuk - dengan agak pasti - kualitas pengasuhan sebagai faktor penentu.
Dikutip dari “The Road Less Travelled”
Rabu, 23 November 2016
Inspirasi dalam tragedi
Ketika melihat
dari jauh, kita berpikir bencana adalah tragedi mengerikan. Namun ketika anda
berada di dekatnya, banyak hal dalam tragedi ini yang memuat berbagai kejadian
yang sungguh indah dan menyentuh.
Ada kisah
mengenai bencana kelaparan besar di Afrika. Banyak umat Buddha menjadi relawan
untuk membantu meringankan bencana ini. Ketika kembali, mereka menceritakan
pengalamannya pada seorang biksu. Biksu itu berkomentar, “pasti di sana
kondisinya buruk sekali”, berhubung biksu ini sudah melihat gambar anak-anak
yang kelaparan, lalu orang-orang, pria, wanita, dan anak-anak dengan perut
membusung dan lalat beterbangan mengelilingi mereka. Pasti mengenaskan sekali
di sana.
“Yah,
kami benar-benar di ambang batas” dan gadis relawan ini menceritakan mengenai
tugasnya di kamp pengungsi. Kamp ini dikelilingi kawat berduri di luat, dan
mereka hanya memiliki makanan, air, dan obat-obatan yang terbatas serta sama
sekali tidak cukup untuk setiap orang. Mereka tahu bahwa jika mereka membagi-bagikannya
ke semua orang, itu hanya akan mendistribusikan pasokan secara tipis, namun tak
akan membantu sama sekali. Mereka menyadari bahwa satu-satunya hal yang bisa
mereka lakukan adalah membatasi jumlah pengungsi yang mereka tolong, dan itulah
jumlah maksimum orang yang diizinkan memasuki kamp pengungsi.
Nah, gadis
asal Inggris ini diberi tugas untuk pergi ke luar kamp, melintasi kawat berduri
setiap pagi membawa sebuah angka yang diberikan oleh orang yang berwenang.
Angka itu adalah jumlah orang yang boleh dibawa masuk ke dalam kamp, dengan
pengetahuan bahwa orang-orang yang berada di luar sana mungkin akan meninggal
dalam waktu 24 jam berikutnya jika tidak mendapat bantuan.
Biksu ini
berkata kepada gadis itu, “pasti parah sekali! Anda sesungguhnya memilih siapa
yang akan mati dan siapa yang akan hidup. Bagaimana Anda bisa bertahan dan
menanggung semua itu?”
Lalu ia
mengatakan bahwa itu adalah salah satu pengalaman paling menginspirasi dalam
hidupnya. Para pengungsi yang biasanya datang dari malam sebelumnya itu tidak
berkata, “Bawa aku masuk.” Mereka tidak berbondong-bondong memaksa masuk di
pintu gerbang atau berdesakan. Mereka berkata, “Bawalah perempuan yang itu, ia
punya anak yang masih kecil. Jangan masukkan aku.” Itulah yang sungguh menggugah
hati! Bagaimana bahkan ketika orang-orang dihadapkan dengan kematian yang
pasti, masih bisa begitu tidak mementingkan diri sendiri dan berwelas asih.
Hal ini
menunjukkan padanya apa yang bisa dilakukan umat manusia. Para pengungsi ini
tidak takut mati, sebab mereka menemukan bahwa kewelasan dan kebaikan jauh
lebih penting. Jadi cara mereka menyikapi itu menjadi salah satu hal yang
paling menginspirasi dalam hidup relawan itu. Bahkan dalam tragedi seperti itu,
ia melihat keindahan dan semangat manusia yang betul-betul mengunggahnya.
Akhir yang
menggigit dari kisah itu adalah ketika biksu tadi bertanya, “Jadi, apa yang
Anda kerjakan sekarang?” Ia berkata, “Saya kembali bekerja, di kantor pajak.”
“Bagaimana rasanya di sana?” tanya si biksu. “Nah, kerja di sana baru
benar-benar membuat tertekan!” kata si gadis.
Ia lebih
memilih berada di luar sana, bekerja sebagai relawan, ketimbang di kantor
pajak, sebab di sana ia melihat keindahan, kewelasan, dan kebaikan yang begitu
luar biasa. Namun di kantor pajak yang aman dan nyaman, yang bisa ia lihat
hanyalah keluhan dan pertengkaran remeh, kecemburuan sesama pegawai, dan segala
hal buruk ini.
Kisah ini
mengingatkan saya bahwa ketika ada tragedi, bukan peristiwa itu yang tragis,
namun bagaimana orang menyikapinyalah yang membuat hal itu menjadi musibah atau
berkah.
Dikutip dari “Si Cacing dan
Kotoran Kesayangannya 3”
Kamis, 10 November 2016
Apel Pagi
Inter
Arma Caritas!
“Lapor,
Apel pagi siap dilaksanakan!” Ucap Joni, sang pemimpin apel pada acara apel
pagi tanggal 9 November 2016 pukul 7:30. Apel pagi kali ini bermaksud untuk
melihat kesiapan anggota KSR untuk acara DIKLAT calon anggota yang akan diselenggarakan
pada tanggal 16-20 November 2016. Apel kali ini juga dilakukan untuk lebih
memantapkan kekompakan dalam hal keseragaman dan konsistensi. Karena kita ada
di bawah satu lambang, maka kita juga harus terlihat satu dan padu di mata
orang lain.
Komandan
KSR PMI unit IKOPIN yaitu Nur Ikhsan Prawiro memberi amanat pada dua hal
penting yaitu orientasi KSR IKOPIN dan dimensi kualitas. Pertama, orientasi KSR
IKOPIN. KSR IKOPIN sudah menapaki jalan kemanusiaan sedari dulu. KSR IKOPIN pernah
merasakan masa kejayaannya ketika KSR IKOPIN terkenal karena Lomba Lintas
Medannya. Sekarang KSR IKOPIN sedikit demi sedikit mulai dikenal lagi di
lingkungan Sumedang, Bandung hingga se-Jawa Barat. Kita KSR IKOPIN akan kembali
merasakan kejayaannya dalam waktu beberapa tahun lagi.
Yang
kedua, adalah dimensi kualitas. Dari beberapa dimensi kualitas, ditekankan dua
bagian yaitu keseragaman dan konsistensi. Sesuatu yang berkualitas mempunyai
keseragaman dan konsistensi. Organisasi yang berkualitas tentunya memiliki
kedua hal ini. Kedua hal ini harus dimasukkan ke dalam setiap pemikiran,
perkataan, dan perbuatan yang dilakukan oleh setiap anggota KSR IKOPIN.
“Lapor,
Apel pagi siap dibubarkan!”
“Bubarkan!”
Senin, 24 Oktober 2016
Demo Outdoor
Siamo Tutti Fratelli! Siap KSR!
Itulah
kata-kata yang menyemangati kita yang akan keluar setiap kita memulai sesuatu
dan mengakhiri pertemuan. Termasuk juga ketika para perempuan tangguh KSR ini melakukan
Rappelling di acara demo UKM. Kata-kata dari bahasa italia yang memiliki arti
“kita semua bersaudara”. Sebuah kata yang memberi kita semangat sekaligus
mengingatkan bahwa kita semua, seluruh umat manusia adalah saurdara. Layaknya
prinsip “kesamaan” yang bermakna bahwa perbedaan ras, warna kulit, dan agama
bukanlah sesuatu yang penting dalam konteks untuk menjunjung tinggi rasa
kemanusiaan.
Rappelling ini kita peragakan kepada mahasiswa baru untuk memperkenalkan UKM KSR. Walau sudah dikenal tetep aja yang ikutnya segitu-segitu aja. Hahah.. lumayan lah, dari 500 orang bisa dapet 15 anggota. Sekitar 3% dari satu angkatan. Walau segitu tapi yang ngga aktif di awal cuman satu atau dua orang. Malah bersyukur bisa ada di KSR IKOPIN. Ngga perlu banyak ngapalin nama orang dan pada deket kaya perangko di sampul buku. Eh, sampul surat maksudnya.
Demo
outdoor andalan kita ya ini. Rapelling, simulasi vertical rescue. Walaupun masangin perlengkapannya harus pake
tangga 3 pasang dan naik-naik pohon pinus terus makuin board di antara dua
pohon pinus sampe paku 10cm masuk habis. Duh duh duh, ya gemana lagi sih ya.
Soalnya kalau mau simulasi kebakaran takut dimarahin sama yang punya gedungnya.
Kalau mau simulasi water rescue masa mahasiswa
baru harus ngeliat raft di atas ember. Kan malu yah. Ya udah aja kita vertical
rescue lagi seperti tahun-tahun sebelumnya.
Kalau
kalian mau lihat secara langsung aksi kita ngelakuin vertical rescue, dateng
aja ya di demo UKM IKOPIN tahun 2017. Hehehe…
UNC Time
UnC
time, yaaayyy… inilah yang terjadi di sekretariat IKOPIN kalau ada yang namanya
UKM and Community time atau bisa disingkat UnC time. UnC time itu ya dimulai
dari perkenalan, sapa-sapa calon adik, games, dan berakhir makan-makan. Dari
tahun ke tahun ya begitulah UnC time di KSR IKOPIN, anak-anaknya bahagia kalau
udah UnC time. Bukan berarti bahagia di UnC time aja, tapi hampir di setiap
acara. Untuk kita UnC time itu seperti waktunya bersyukur, karena di hari itu
kita ketemu sama calon adik-adik kami yang baru. Ketemu wajah baru kan enak,
seger dan ngga bosenin. Hehehe..
Sebenarnya
UnC time itu diadakan oleh BEM di sela-sela acara pengenalan kampus. Jadi kita
ngga full seharian sama calon anggota. Ngga full di sekre maksudnya, kalau di
kampus sih kita selalu deket sama mahasiswa baru. Biasa, ngeceng-ngeceng gitu
kan kalau ada mahasiswa baru. Apalagi kita anak KSR, di mana ada mahasiswa baru
lagi kegiatan pengenalan kampus ya kita ikutin. UnC time ini diadakan dengan tujuan
mengenalkan UKM dan komunitas agar lebih dekat dengan mahasiswa baru. Kalau
mengenalkan dengan jauh namanya demo, bahaya kalau demo deket-deket. Namanya
juga mengenalkan kegiatan dengan mahasiswa baru, ya pastinya mengajak mahasiswa
supaya di masa kuliah mereka jadi aktif berorganisasi. Ngga kuliah pulang
kuliah pulang.
Aktif
berorganisasi itu bagus loh. Umumnya sih dapet pengalaman dan teman, ini
kelebihan anak organisasi yang sekedar ikut organisasi aja. Kalau kita ikutin
organisasi itu lebih dalam lagi, kita bakalan dapet lebih banyak hal. Softskill
pasti terasah buat anak yang betah di organisasinya. Karena KSR itu bukan
organisasi sebatas di kampus. KSR punya banyak hal, Salah satunya tertib
administrasi. Tertib administrasi itu rasanya organisasi banget deh. Kalau
ngaku anak aktif organisasi belum tau tertib administrasi sayang banget. Tertib
administrasi itu membantu organisasi buat punya data dan fakta. Akademisi kan
memang harus begitu, berbicara data dan fakta. Ngga bicara ngawur dan ngga berstruktur.
Kalau masih ngawur dan ngga berstruktur, akademisi apa ya? Entahlah…
Saya sendiri
yang sudah ikut berorganisasi hingga tahun keempat bukannya malah semakin jenuh
karena sudah pernah dicobain semuanya tapi malah semakin semangat karena
ternyata masih banyak hal yang belum kita cobain di organisasi. Ya maklum,
organisasi KSR memang luas, kita bagian dari PMI dan PMI bukan sekedar
organisasi swasta nasional, melainkan bagian dari organisasi internasional.
Hampir di setiap negara di dunia ada organisasi Palang Merah atau Bulan Sabit
Merah. Jadi kita bisa punya relasi sampe ke luar negeri. Keanggotaan KSR pun
seumur hidup, seiring dengan rasa kemanusiaan kita.
Eh maaf jadi
jauh dari topik UnC time. Hahaha.. intinya sih kalau UnC time itu waktunya UKM
dan komunitas mendekati mahasiswa baru supaya aktif berorganisasi. Sekian yaa
pembahasan acara kita kali ini. See you…
Langganan:
Postingan (Atom)