Ketika melihat
dari jauh, kita berpikir bencana adalah tragedi mengerikan. Namun ketika anda
berada di dekatnya, banyak hal dalam tragedi ini yang memuat berbagai kejadian
yang sungguh indah dan menyentuh.
Ada kisah
mengenai bencana kelaparan besar di Afrika. Banyak umat Buddha menjadi relawan
untuk membantu meringankan bencana ini. Ketika kembali, mereka menceritakan
pengalamannya pada seorang biksu. Biksu itu berkomentar, “pasti di sana
kondisinya buruk sekali”, berhubung biksu ini sudah melihat gambar anak-anak
yang kelaparan, lalu orang-orang, pria, wanita, dan anak-anak dengan perut
membusung dan lalat beterbangan mengelilingi mereka. Pasti mengenaskan sekali
di sana.
“Yah,
kami benar-benar di ambang batas” dan gadis relawan ini menceritakan mengenai
tugasnya di kamp pengungsi. Kamp ini dikelilingi kawat berduri di luat, dan
mereka hanya memiliki makanan, air, dan obat-obatan yang terbatas serta sama
sekali tidak cukup untuk setiap orang. Mereka tahu bahwa jika mereka membagi-bagikannya
ke semua orang, itu hanya akan mendistribusikan pasokan secara tipis, namun tak
akan membantu sama sekali. Mereka menyadari bahwa satu-satunya hal yang bisa
mereka lakukan adalah membatasi jumlah pengungsi yang mereka tolong, dan itulah
jumlah maksimum orang yang diizinkan memasuki kamp pengungsi.
Nah, gadis
asal Inggris ini diberi tugas untuk pergi ke luar kamp, melintasi kawat berduri
setiap pagi membawa sebuah angka yang diberikan oleh orang yang berwenang.
Angka itu adalah jumlah orang yang boleh dibawa masuk ke dalam kamp, dengan
pengetahuan bahwa orang-orang yang berada di luar sana mungkin akan meninggal
dalam waktu 24 jam berikutnya jika tidak mendapat bantuan.
Biksu ini
berkata kepada gadis itu, “pasti parah sekali! Anda sesungguhnya memilih siapa
yang akan mati dan siapa yang akan hidup. Bagaimana Anda bisa bertahan dan
menanggung semua itu?”
Lalu ia
mengatakan bahwa itu adalah salah satu pengalaman paling menginspirasi dalam
hidupnya. Para pengungsi yang biasanya datang dari malam sebelumnya itu tidak
berkata, “Bawa aku masuk.” Mereka tidak berbondong-bondong memaksa masuk di
pintu gerbang atau berdesakan. Mereka berkata, “Bawalah perempuan yang itu, ia
punya anak yang masih kecil. Jangan masukkan aku.” Itulah yang sungguh menggugah
hati! Bagaimana bahkan ketika orang-orang dihadapkan dengan kematian yang
pasti, masih bisa begitu tidak mementingkan diri sendiri dan berwelas asih.
Hal ini
menunjukkan padanya apa yang bisa dilakukan umat manusia. Para pengungsi ini
tidak takut mati, sebab mereka menemukan bahwa kewelasan dan kebaikan jauh
lebih penting. Jadi cara mereka menyikapi itu menjadi salah satu hal yang
paling menginspirasi dalam hidup relawan itu. Bahkan dalam tragedi seperti itu,
ia melihat keindahan dan semangat manusia yang betul-betul mengunggahnya.
Akhir yang
menggigit dari kisah itu adalah ketika biksu tadi bertanya, “Jadi, apa yang
Anda kerjakan sekarang?” Ia berkata, “Saya kembali bekerja, di kantor pajak.”
“Bagaimana rasanya di sana?” tanya si biksu. “Nah, kerja di sana baru
benar-benar membuat tertekan!” kata si gadis.
Ia lebih
memilih berada di luar sana, bekerja sebagai relawan, ketimbang di kantor
pajak, sebab di sana ia melihat keindahan, kewelasan, dan kebaikan yang begitu
luar biasa. Namun di kantor pajak yang aman dan nyaman, yang bisa ia lihat
hanyalah keluhan dan pertengkaran remeh, kecemburuan sesama pegawai, dan segala
hal buruk ini.
Kisah ini
mengingatkan saya bahwa ketika ada tragedi, bukan peristiwa itu yang tragis,
namun bagaimana orang menyikapinyalah yang membuat hal itu menjadi musibah atau
berkah.
Dikutip dari “Si Cacing dan
Kotoran Kesayangannya 3”