Selamat Datang di Blog Korps Sukarela Palang Merah Indonesia Unit Institut Koperasi Indonesia (KSR PMI Unit IKOPIN)

Rabu, 23 November 2016

Inspirasi dalam tragedi

Ketika melihat dari jauh, kita berpikir bencana adalah tragedi mengerikan. Namun ketika anda berada di dekatnya, banyak hal dalam tragedi ini yang memuat berbagai kejadian yang sungguh indah dan menyentuh.
Ada kisah mengenai bencana kelaparan besar di Afrika. Banyak umat Buddha menjadi relawan untuk membantu meringankan bencana ini. Ketika kembali, mereka menceritakan pengalamannya pada seorang biksu. Biksu itu berkomentar, “pasti di sana kondisinya buruk sekali”, berhubung biksu ini sudah melihat gambar anak-anak yang kelaparan, lalu orang-orang, pria, wanita, dan anak-anak dengan perut membusung dan lalat beterbangan mengelilingi mereka. Pasti mengenaskan sekali di sana.
       “Yah, kami benar-benar di ambang batas” dan gadis relawan ini menceritakan mengenai tugasnya di kamp pengungsi. Kamp ini dikelilingi kawat berduri di luat, dan mereka hanya memiliki makanan, air, dan obat-obatan yang terbatas serta sama sekali tidak cukup untuk setiap orang. Mereka tahu bahwa jika mereka membagi-bagikannya ke semua orang, itu hanya akan mendistribusikan pasokan secara tipis, namun tak akan membantu sama sekali. Mereka menyadari bahwa satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan adalah membatasi jumlah pengungsi yang mereka tolong, dan itulah jumlah maksimum orang yang diizinkan memasuki kamp pengungsi.
Nah, gadis asal Inggris ini diberi tugas untuk pergi ke luar kamp, melintasi kawat berduri setiap pagi membawa sebuah angka yang diberikan oleh orang yang berwenang. Angka itu adalah jumlah orang yang boleh dibawa masuk ke dalam kamp, dengan pengetahuan bahwa orang-orang yang berada di luar sana mungkin akan meninggal dalam waktu 24 jam berikutnya jika tidak mendapat bantuan.
Biksu ini berkata kepada gadis itu, “pasti parah sekali! Anda sesungguhnya memilih siapa yang akan mati dan siapa yang akan hidup. Bagaimana Anda bisa bertahan dan menanggung semua itu?”
Lalu ia mengatakan bahwa itu adalah salah satu pengalaman paling menginspirasi dalam hidupnya. Para pengungsi yang biasanya datang dari malam sebelumnya itu tidak berkata, “Bawa aku masuk.” Mereka tidak berbondong-bondong memaksa masuk di pintu gerbang atau berdesakan. Mereka berkata, “Bawalah perempuan yang itu, ia punya anak yang masih kecil. Jangan masukkan aku.” Itulah yang sungguh menggugah hati! Bagaimana bahkan ketika orang-orang dihadapkan dengan kematian yang pasti, masih bisa begitu tidak mementingkan diri sendiri dan berwelas asih.
Hal ini menunjukkan padanya apa yang bisa dilakukan umat manusia. Para pengungsi ini tidak takut mati, sebab mereka menemukan bahwa kewelasan dan kebaikan jauh lebih penting. Jadi cara mereka menyikapi itu menjadi salah satu hal yang paling menginspirasi dalam hidup relawan itu. Bahkan dalam tragedi seperti itu, ia melihat keindahan dan semangat manusia yang betul-betul mengunggahnya.
Akhir yang menggigit dari kisah itu adalah ketika biksu tadi bertanya, “Jadi, apa yang Anda kerjakan sekarang?” Ia berkata, “Saya kembali bekerja, di kantor pajak.” “Bagaimana rasanya di sana?” tanya si biksu. “Nah, kerja di sana baru benar-benar membuat tertekan!” kata si gadis.
Ia lebih memilih berada di luar sana, bekerja sebagai relawan, ketimbang di kantor pajak, sebab di sana ia melihat keindahan, kewelasan, dan kebaikan yang begitu luar biasa. Namun di kantor pajak yang aman dan nyaman, yang bisa ia lihat hanyalah keluhan dan pertengkaran remeh, kecemburuan sesama pegawai, dan segala hal buruk ini.
Kisah ini mengingatkan saya bahwa ketika ada tragedi, bukan peristiwa itu yang tragis, namun bagaimana orang menyikapinyalah yang membuat hal itu menjadi musibah atau berkah.


               Dikutip dari “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 3”