Dijerumuskan bencana tsunami Aceh 2004, ia jadi kecanduan jadi relawan. Ini kesaksiannya.
JUM'AT, 12 NOVEMBER 2010, 18:38 WIB
Pipiet Tri NoorastutiVIVAnews – Sosok Iman Surahman hampir selalu terlihat di setiap medan bencana di Tanah Air. Bermula dari bencana tsunami di Aceh, gempa bumi di Sumatra Barat, hingga letusan Gunung Merapi. Sebagai Koordinator Disaster Management Center Dompet Dhuafa, Iman harus tiba di lokasi tak lebih dari 20 jam sejak kabar muncul.
“Ini kadang tak mudah. Lokasi sulit dijangkau, bandara ditutup, tiket pesawat habis. Tapi, selama keringat belum keluar darah, saya selalu yakin masih ada jalan,” katanya.
Dan, kurang dari 12 jam sesampainya di lokasi bencana, ia harus langsung memetakan kondisi. Mulai dari menentukan titik aksi, merekrut, hingga menentukan tugas relawan.
Buat wartawan portal berita ini, lelaki kelahiran Kuningan, Jawa Barat, 34 tahun lalu itu, punya jasa tak terlupakan. Dialah relawan yang pertama kali menemukan jasad rekan kami, Yuniawan "Wawan" Nugroho, yang tewas pada letusan pertama Merapi, 26 Oktober lalu.
Berikut petikan wawancara VIVAnews dengan suami Eri Setyowati dan ayah dari tiga anak ini.
Bagaimana awal kisah Anda terjun sebagai relawan bencana?
Saya "terjerumus" sejak bencana tsunami di Aceh, 2004. Kebetulan waktu itu Dompet Dhuafa sedang membuka pendaftaraan relawan untuk program Sekolah Ceria. Saya diminta menjadi melatih relawan guru. Saya memang punya sekolah TK dan sanggar mendongeng di rumah. Di Aceh, saya berpetualang dari satu pengungsian ke pengungsian lain untuk mendongeng dan melakukan pendampingan anak.
Pengalaman menjadi relawan di Aceh membuat saya semakin tertantang untuk terlibat di setiap bencana. Seperti candu melihat anak menangis lalu tersenyum. Saya beruntung sekali bisa terlibat saat tsunami Aceh. Saya bisa belajar di "fakultas" terbesar ranah bencana.
Pernah menjadi relawan di wilayah bencana mana saja?
Di antaranya gempa Yogyakarya 2006; lumpur Sidoarjo 2006; gempa Sumatera Barat 2007 dan 2009; banjir So’e NTT 2008; kelaparan Pulau Tunda, Serang, Banten 2008; gempa Tasikmalaya 2009; banjir Pakistan 2010; dan letusan Merapi ini.
Yang paling menegangkan?
Pertama, di Dusun Penyangkak, Bengkulu Utara. Ketika itu warga menodong kepala saya dengan parang. Dusun itu terisolir. Sudah tiga hari bantuan pemerintah belum masuk. Hanya tim saya yang ada di sana dengan bantuan logistik sangat minim. Mereka marah karena bantuan saya tak banyak. Beruntung, dengan pendekatan hati mereka akhirnya paham bahwa saya bukan dewa.
Peristiwa itu justru membuat saya dan warga semakin erat dan memiliki ikatan emosional. Kasus itu juga mengajarkan saya untuk mengedepankan hati dulu sebelum logistik, agar posisi kita tak seperti gula di kandang semut.
Kedua, ketika saya dimintai tolong kawan-kawan VIVAnews.com untuk menemukan jurnalisnya yang hilang di Merapi, Yuniawan Wahyu Nugroho. Kepercayaan itu mengalahkan ketakutan saya. Saat masuk ke Kinahrejo malam itu situasinya sungguh mencekam. Api menyala di mana-mana. Saya temukan jasad Wawan di sana. Melihat kondisi dusun itu esok paginya, saya mungkin berpikir 30 kali memasuki lokasi itu.
Mana lokasi yang paling berkesan buat Anda?
Hampir semua lokasi bencana memberi kesan khusus buat saya. Tapi, ada dua daerah yang seolah menjadi kampung halaman baru buat saya: Dusun Penyangkak, Bengkulu Utara; dan Sliwung, Situbondo. Ada semacam ikatan emosional kuat yang membuat hubungan saya dan warga setempat bertahan sampai sekarang.
Apa sasaran utama Anda di lokasi bencana?
Tentu penyelamatan nyawa sesama. Selanjutnya adalah penyembuhan trauma pascabencana. Saya selalu menggunakan anak-anak sebagai lokomotif, untuk memulihkan trauma. Anak-anak sifatnya netral. Saya ajak anak-anak untuk menyemangati orangtuanya agar berhenti menangis.
Bagaimana cara mendekati anak-anak?
Saya biasa datang ke lokasi anak-anak berkumpul. Kalau perlu saya tidur bersama mereka di tenda pengungsian. Saya duduk di tengah-tengah mereka, lalu mendongeng dan menyemangati mereka. Buat saya, dongeng adalah jembatan imajinasi anak-anak yang pengaruhnya luar biasa. Ketika kita bisa mengarahkannya, itu menjadi kesempatan yang bagus untuk mengembalikan keceriaan mereka dan keluarganya.
Apa sebetulnya latar belakang pendidikan Anda?
Saya mendalami pertunjukan teater di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Setelah lulus saya mendirikan taman kanak-kanak dan sanggar dongeng. Untuk menutup biaya operasionalnya, awalnya saya nyambi jualan kerupuk dan nasi aking makanan bebek.
Keluarga apa tidak berkeberatan?
Keluarga sangat mendukung. Setiap kali bencana, saya bisa sampai tiga bulan ndakpulang. Awalnya, anak saya sempat marah ketika saya ndak pulang-pulang. Suatu ketika, dia saya minta bicara melalui telepon dengan anak korban bencana yang tengah saya tangani. Setelah itu, saya beri pengertian bahwa masih banyak anak-anak yatim piatu yang membutuhkan ayahnya. Sejak itu, dia tidak pernah protes lagi. Setiap kali ada bencana dia malah menyemangati saya agar cepat pergi.
Istri saya juga mendukung dan selalu bilang ingin bisa berbuat baik untuk korban bencana. Makanya, sekalian saya oleh-olehi dia anak-anak korban bencana setiap kali pulang. Di rumah (Iman tinggal di kawasan Jatiasih, Jakarta), sudah ada delapan anak yatim yang kami asuh. Mayoritas saya ambil dari kawasan bencana. Mereka umumnya sudah tak memiliki orangtua dan usia setingkat anak SMP ke atas. Saya berpikir, kalau anak usia SD masih mungkin mendapat fasilitas sekolah gratis.
Apa yang membuat Anda melakukan ini semua?
Saya percaya dengan konsep memberi satu dapat 10. Saya hanya ingin "berbisnis" dengan Tuhan. (kd)
• VIVAnews