Dari bencana ke bencana, para relawan itu bekerja menyelamatkan sesama.
JUM'AT, 12 NOVEMBER 2010, 18:18 WIB
Pipiet Tri Noorastuti, Sandy Adam Mahaputraseorang kawan mengabarkan terjadi erupsi di Gunung Merapi, Selasa, 26 Oktober 2010. Tanpa pikir panjang, ia segera memacu kendaraannya dari kota Yogyakarta menuju Dusun Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman.
Di tengah sayup-sayup raungan sirine tanda bahaya, niatnya terhenti di barak pengungsian Umbulharjo, sekitar lima kilometer menjelang Kinahrejo. Kepanikan melanda. Sejumlah warga menangis histeris kehilangan kontak dengan sanak keluarga.
“Yang ada di pikiran hanya bagaimana menemukan orang-orang hilang itu dalam kondisi selamat,” kata anggota tim SAR itu, saat berbincang dengan VIVAnews.
Keputusan nekat diambil. Sekitar pukul 20.00, bersama empat anggota SAR dan tiga warga setempat, Irfan mendekati Kinahrejo. Mereka menantang maut di tengah muntahan awan panas yang belum tuntas.
Semakin dekat, hawa panas dan ruap belerang menyeruak. Kobaran api pun mulai tampak memecah kegelapan malam. Dan, mimpi buruk itu terjawab di perbatasan dusun.
Sejauh mata memandang, hanya ada tarian api melumat pepohonan, kendaraan, juga bangunan. Bertabur abu pekat, dusun itu hancur. Bangunan terbakar. Pohon bertumbangan. Tubuh-tubuh tak bernyawa bergelimpangan di jalan masuk dusun. Lamat-lamat, rintihan memilukan terdengar.
Hanya berpelindung masker hidung, mereka menerobos ‘neraka’ di hadapan mata. "Suasananya panas sekali, abu pekat. Kami berpijak di potongan-potongan kayu yang berserak. Tanah panas. Sepatu teman saya saja sampai meleleh dan kakinya melepuh," kata Irfan.
Naluri mengantar mereka pada sumber rintihan. Tujuh orang masih bernyawa dengan luka bakar cukup serius. Tandu darurat dari sarung, dan potongan dahan dipakai menggendong mereka. "Kami bonceng dengan sepeda motor sampai ada mobil yang membantu membawanya ke rumah sakit," ujarnya.
Evakuasi tujuh korban hidup selesai. Irfan dan empat anggota SAR lainnya masuk ke area lebih dalam. Berharap menemukan korban hidup. Mereka menyisir keberadaan Mbah Marijan yang ketika erupsi masih salat di masjid. Tapi, nihil.
Di sekitar masjid dan rumah Mbah Marijan, mereka hanya menemukan empat jasad hangus. "Setelah Mas Iman Surahman dari Dompet Dhuafa datang, saya baru tahu kalau salah satunya adalah jasad wartawan VIVAnews Yuniawan Wahyu Nugroho," ujarnya.
Di tengah situasi mencekam, sejumlah relawan segera mengevakuasi jasad-jasad itu ke rumah sakit.
Dilindungi mayat
Seperti bermain petak umpet dengan maut, relawan seperti Irfan harus siap dengan perhitungan risiko mengancam jiwa. Tak jarang mereka tewas di medan bencana. Seperti kisah lima relawan yang meninggal, saat melakukan evakuasi korban di lereng Merapi.[Baca juga Bekal Terakhir dari Ibu]
Meski begitu, bukan ancaman nyawa yang membuat relawan ciut, tapi justru pemandangan menyentuh hati. "Saya paling nggak tega kalau melihat jasad wanita dalam kondisi memeluk anak. Tentara saja banyak yang nggak tega mengevakuasi," kata Irfan. "Ini banyak kami temui di Merapi dan gempa Yogya."
Rasa sentimentil itu juga merayap pada Sigit Agung Maryunus. Emosi anggota Palang Merah Indonesia (PMI) ini tak jarang diaduk-aduk saat menyaksikan pemandangan memilukan di hadapan mata. "Saya kuat di alam, saya tegar, tapi saya juga manusia yang bisa menangis," ujar lelaki yang lebih 20 tahun mengabdi sebagai relawan bencana.
Sigit masih menyimpan kenangan saat membantu korban gempa bumi di Yogyakarta, 2006. Kala itu, ia tengah berjuang mengeluarkan korban meninggal dari reruntuhan rumah saat bumi kembali bergoyang.
"Tiang beton rubuh menghantam jasad itu sampai darahnya muncrat ke tubuh saya. Saya terlindung jasad itu. Saya sangat berterima kasih kepada jasad itu karena telah menyelamatkan saya," ujar Sigit menahan isak. “Sudah meninggal tapi masih bisa menyelamatkan nyawa orang lain.”
Bagi Irfan dan Sigit, menjadi relawan bencana bukan aktivitas mudah. Mereka seringkali dihadapkan pada kondisi sulit, mengancam jiwa dan menguras emosi. Tapi, pekerjaan ini seperti sebuah panggilan hidup.
Bagi Irfan dan Sigit misalnya, menjadi relawan bencana adalah panggilan hidup mereka sejak masih belia. Kepekaan terhadap alam dan rasa kemanusiaan Irfan terasah sejak bergabung di organisasi pecinta alam semasa kuliah. Irfan kerap terlibat pencarian orang hilang di gunung.
Panggilan itu kian akrab. Dia memutuskan bergabung dengan tim SAR enam tahun silam. "Saya sempat dikirim menangani korban di sejumlah area bencana seperti tsunami di Aceh 2004, juga gempa bumi di Yogyakarta 2006," kisah lelaki 29 tahun ini.
Sementara Sigit memberanikan diri bergabung sebagai relawan PMI semasa duduk di bangku SMA, 1990. "Panggilan jiwa saja tidak cukup. Saya pikir, saya juga butuh obat-obatan untuk menolong, makanya saya masuk ke PMI," ujar pria kelahiran 1974 ini.
Sayap-sayap malaikat
Tak semua relawan berada di 'garis depan' seperti Irfan dan Sigit. Banyak relawan yang tersebar, mulai dari pos pengungsian, posko kesehatan, hingga dapur umum. Mereka terjun sesuai keahlian masing-masing, peran mereka tak kalah penting bagi korban bencana.
Seperti Ariyo Faridh, 30 tahun, yang terlibat memulihkan trauma anak-anak korban bencana di sejumlah daerah. Ia terjun ke sejumlah medan bencana seperti Aceh, Bengkulu, Pangandaran, Tasikmalaya, Situ Gintung, dan Merapi. "Saya terlibat melalui terapi dongeng untuk anak-anak," ujarnya.
Setiap kali mendengar bencana besar, Ariyo segera mencari 'kendaraan' seperti lembaga swadaya agar mudah menjangkau korban bencana. Demi panggilan jiwanya, ia tak sungkan membolos kerja, atau cuti untuk menghibur anak-anak korban bencana. "Saya kecanduan cari pahala," ujarnya sambil tertawa.
Jalan sama juga pernah dialami Iman Surahman. Sebelum memegang amanah memimpin Disaster Management Center Dompet Dhuafa, dia keluar masuk area bencana sebagai pendongeng.
"Saya selalu menjadikan anak-anak lokomotif untuk mempercepat pemulihan trauma pascabencana. Saya ajak anak-anak bangkit menyemangati orangtuanya," ucap Iman, yang sudah menjelajah puluhan medan bencana skala kecil hingga besar di dalam negeri maupun mancanegara.
Ada kenikmatan, dan rasanya seperti candu, saat mereka berhasil mengubah situasi muram dan penuh tangis, menjadi senyuman. Atau membuat korban tergelak-gelak dengan cerita menghibur. Kondisi inilah membuat tali emosi terjalin antara relawan dan para korban.
“Bahkan, beberapa kali saya bawa anak-anak korban bencana sebagai oleh-oleh untuk istri di rumah. Ketika saya masuk ke lokasi bencana saya ingin mengikat hati saya di situ,” ujar lelaki yang kini mengasuh delapan anak angkat di kediamannya di kawasan Bekasi, Jawa Barat. [Baca wawancara Iman Surahman: "Menyelamatkan Sesama Seperti Candu"]
Kedekatan emosional dengan korban bencana juga membuat Ariyo tak kuat menahan haru. Saat itu sepucuk surat hinggap di rumahnya di Jakarta. Surat itu dari bocah korban bencana tsunami Aceh yang masih berusia empat tahun. Isinya cuma satu kalimat: ‘abang kelinci jangan lupa kasih makan wortel’. “Anak itu sepertinya lekat dengan tokoh kelinci, dari dongeng yang saya bawakan dulu,” ujar Ariyo.
Menolong tanpa pamrih, para relawan ini layaknya sayap-sayap para malaikat yang turun di tengah bencana. Mereka tak lelap meski lelah. Mereka bekerja dalam diam, dan ikhlas. Rasanya tak berlebihan kita menyebut mereka sebagai pahlawan.(np)
Laporan Erick Tanjung | Yogyakarta